Ayahku
adalah bungsu dari dua bersaudara, laki-laki semua, asal dari Demak.
Sedangkan ibuku adalah sulung dari dua bersaudara, perempuan semua,
asli Jogja. Aku tidak tahu kisah perjodohan mereka, tapi pastinya
ayahku merantau ke Jogja, bertemu ibuku, menikah, dan tinggal di Jogja,
mungkin ayahku ikut tinggal di rumah mertua, di daerah pasar. Kakek dan
kakek buyutku berjualan yang jaman dulu lazim disebut toko besi.
Selain itu karena di jaman revolusi kemerdekaan, banyak londo-londo
yang mau balik ke negeri asal mereka, toko kakek menerima banyak
buku-buku bekas koleksi para londo itu. Inilah cikal bakal mengapa
orang tuaku kemudian membuka usaha toko buku yang dimulai dengan
menjual buku-buku bekas.
Tujuh
tahun setelah pernikahan mereka lahirlah kakakku (laki-laki) pada
tahun 1948. Tentu sebuah penantian yang lama. Sedangkan diriku lahir
delapan tahun kemudian (1956). Adikku ada dua orang, perempuan
semuanya, dan jarak lahirnya tidak terlalu jauh yaitu tahun 1958 dan
1962.
Toko
orang tuaku ini bernama HIEN HOO SING, dulu beralamat di Gang Lor
Pasar nomor 17. Pada tahun 1950an orang tuaku menyewa rumah di
Malioboro 171. Ayahku bekerja sama dengan kakaknya yang tinggal di
Semarang, mulai merintis menerbitkan buku-buku pelajaran. Yang paling
terkenal adalah buku ULAR-ULAR BASA JAWI. Kemudian ada juga buku
pelajaran ilmu bumi, ilmu hayat, pelajaran ekonomi dan sebagainya.
Pesanan mengalir dari Sabang sampai Merauke. Sayang sekali semua arsip
surat-surat pesanan (kartupos, warkatpos maupun weselpos) sudah habis
dijual sebagai kertas bekas, padahal kalau sekarang masih ada tentu
nilai filatelisnya cukup tinggi. (Saat ini kalau mau Google search,
akan ditemukan banyak web atau blog yang menggunakan HIEN HOO SING.)
Kalau
kuingat perjalanan toko buku, sungguh merupakan sebuah karunia Tuhan
bagi keluarga orang tuaku. Toko itu tidak pernah sepi. Apalagi kalau
pas tahun ajaran baru, ruangan toko penuh dengan pengunjung. Aku ingat
masa kecilku ketika ingin main mobil-mobilan di trotoar, sungguh sangat
sulit keluar dari dalam rumah ke depan karena ruangan toko penuh dengan
pembeli.
Ayahku
lulusan sekolah yang mungkin setara dengan STM. Beliau suka otak-atik
mesin. Aku ingat dulu ada dua ruangan kamar yang penuh dengan
perkakasnya. Ayahku pandai menaiki sepeda roda satu. Pernah beliau
mengisi acara di SD ku waktu itu. Ibuku hanya sekolah sampai kelas 2 SR
(Sekolah Rakyat = SD jaman sekarang). Tapi ibuku mempunyai tulisan yang
sangat indah. Mungkin di jaman Belanda dulu keterampilan menulis
menjadi prioritas nomor satu. Walau pendidikan formalnya rendah, tetapi
ibuku pintar. Beliau pandai mengerjakan pembukuan toko dan juga ambil
kursus bahasa asing.
Aku
terlahir sebagai anak yang sering sakit. Sebetulnya tidak demikian,
tetapi ketika aku berusia 2 tahunan, oleh ibuku dibawa ke dokter,
mungkin untuk imunisasi atau apa. Karena di ruang tunggu banyak orang
sakit, maka ibuku membawaku ke teras. Mungkin karena banyak angin maka
diriku terserang bronchitis. Kalau sedang kumat betapa sengsaranya, aku
harus menungging untuk mengurangi sesak napasku. Konon di usia TK aku
hanya masuk satu hari saja, selebihnya lebih banyak tergolek di
ranjang. Usia SD aku lebih banyak bermain dengan kedua adikku dan
teman-teman perempuan mereka. Akibatnya aku ya ikut main masak-masakan,
anak-anakan, bal bekel dll. Tapi ketika aku kelas 4, aku bermain
dengan anaknya bu lik ku di bawah atap dan terjatuh dari ketinggian 4
meter. Aku sempat pingsan 3 hari. Selama aku tinggal di rumah sakit,
ibuku dengan rajin membuat buku harian mengenai perkembanganku.
Karena
status rumah adalah menyewa, maka orang tuaku punya gagasan untuk
membeli rumah. Mereka membeli rumah di Malioboro 119 dan 121. Dua
persil rumah ini dibeli dalam keadaan masih ditempati orang. Dan kedua
keluarga itu tidak mau pindah. Akhirnya mereka setiap bulan mengirim
wesel seolah-olah membayar sewa kepada orang tuaku, tapi oleh ayahku
wesel itu selalu dikembalikan dengan alasan rumah akan ditempati
sendiri.
Hal
itu berlangsung hampir 20 tahun. Puncaknya terjadi pada tahun 1974,
ketika ayahku memaksa (dengan bantuan tentara) untuk mengosongkan kedua
rumah itu. Pada saat itu ayahku justru terkena serangan jantung dan
meninggal tak lama kemudian. Usia ayahku waktu itu 55 tahun. Adik ipar
ibuku mengatakan bahwa ayahku meninggal karena diguna-guna oleh pemilik
rumah yang digusur itu. Ayahku tidak pernah menikmati tinggal di rumah
yang dibelinya itu. (Saat tulisan ini kubuat, usiaku pas 55 tahun. Aku
memang masih sering masuk angin, sering kerokan, dan sering merasa
kedinginan, tapi frekuensinya sudah jarang. Mungkin DNA ku kurang baik
karena sejak kecil sakit-sakitan dan tubuhku penuh diisi obat-obat
dokter. Aku berharap Salmon Omega 3 dan Double X bisa membuatku hidup
lebih sehat dan lebih lama.)
Tahun
1974 itu kami pindah ke rumah baru yang kondisinya masih acak-acakan.
Karena kondisi rumah yang tidak nyaman itu aku sempat tidak lulus ujian
SMA. Usaha toko tetap berjalan dengan baik. Penerbitan buku
dilanjutkan oleh kakakku. Kakakku menikah pada tahun 1970 dan tinggal
bersama-sama kami karena rumah ini sangat luas (sekitar 800 meter
persegi).
Beberapa
saat setelah pecah pemberontakan G30S/PKI sempat ada demo anti Cina
yang memaksa toko-toko untuk menurunkan papan nama mereka. Termasuk
toko orang tuaku itu. Untuk beberapa tahun kami berjualan tanpa papan
nama, tetapi semua pelanggan sudah mengenal kami. Setelah pindah ke
rumah baru, atas gagasan dari ibu dan kakakku, nama toko diubah menjadi
SARI ILMU.
Tahun
1976 aku mulai kuliah di satu-satunya perguruan tinggi yang aku pilih,
yaitu IKIP Sanata Dharma. Cita-citaku ingin menjadi guru, tidak mau
jadi pedagang. Usaha toko dikelola oleh ibuku. Kakakku mengurus
penerbitan yang semakin lama semakin merosot karena mulai munculnya
penerbit-penerbit baru yang bekerja sama dengan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, sementara itu naskah lama kami tidak pernah diubah. Ya
kami ini seperti penerbit Balai Pustaka yang buku pelajarannya dipakai
di seluruh nusantara (pada waktunya) dan pada saat tertentu tergusur.
Aku
kuliah 3 tahun. Kemudian karena keterbatasan tempat, untuk sementara
aku tidak diterima di tingkat doctoral (maksudnya kurang pintar gitu
lho). Pada waktu itu juga ada pergeseran tahun pengajaran selama
setengah tahun. Aku mencoba melamar di SMP Pius, Tegal, dan diterima.
Tapi hanya setengah tahun saja, karena kemudian aku diperbolehkan
mengikuti kuliah selanjutnya.
Setelah
tamat kuliah, belum sempat mencari pekerjaan, aku justru “dilamar”
oleh mantan kepala sekolahku (SMA De Britto) untuk menjadi guru di SMA
Santa Maria, Bandung. Betapa senangnya diriku walau penuh ketakutan
karena aku tahu Bandung itu dingin. Dan pada waktu itu Gunung
Galunggung baru saja meletus. Malam hari naik kereta api, paginya sampai
di Bandung. Di kantor yayasan aku diberitahu bahwa aku akan mengajar
SMA Santa Maria siang. Lucunya pada saat itu datanglah kepala SMA
Trinitas yang memintaku mengajar di sekolahnya juga. Jadilah aku
sekaligus mengajar di dua sekolah, pagi di Trinitas dan siang di Santa
Maria. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan yang memberi kemudahan
bagiku.
Memasuki
tahun kedua, aku juga diminta mengajar di SMA Kristen Immanuel di
Cimahi. Selain itu SMA Santa Maria juga membuka cabang di tempat lain.
Jadilah aku mengajar di empat sekolah. Capek deh.
Ibuku
punya kenalan seorang suster (biarawati) dari Ende (Flores). Suster
ini bilang pada ibuku bahwa ada sekolah di Ende yang mencari guru.
Akhirnya aku tinggalkan Bandung yang dingin dan mulailah pengalaman
baru di Ende yang panas, gersang dan penuh kesederhanaan. Sekali lagi
aku bersyukur karena aku tidak melamar melainkan dilamar. Aku mengajar
di SMA Syuradikara. Sempat mengunjungi Danau Kelimutu dan Pulau Komodo,
tapi sayang belum sempat melihat Flores Timur.
Hanya
dua tahun aku mengabdikan diriku di Flores. Kemudian aku pulang dan
menikah tahun 1986. Dan mulailah “kisah sengsaraku” yaitu harus ikut
membantu jaga toko. Aku sebut kisah sengsara karena dari keempat anak,
hanya aku yang membantu mengurus toko. Kakakku tidak mau mengurus toko
dengan alasan tidak berbakat. Dia lebih senang mengurus percetakan.
Pada saat itu usaha penerbitan kami sudah dihentikan dan kakak hanya
menerima orderan cetak dari orang lain. Sayang seribu kali sayang
ternyata kami tidak mempunyai arsip buku-buku yang pernah diterbitkan
oleh orang tua kami.
Adikku
yang besar sudah menikah lebih dulu dari aku, dan dia buka usaha
sendiri, toko buku juga, di Malioboro 171. Adikku yang kecil masih
kuliah dan kalau tidak salah sedang tugas mengajar pengungsi Vietnam di
Pulau Galang.
Aku
menikah bulan November 1986. Anak pertamaku (laki-laki) lahir bulan
November 1989, dan anak kedua (perempuan) lahir bulan November 1991.
Betapa sebuah kebetulan. Sekali lagi aku bersyukur pada Tuhan. Jadi
kalau kami mau merayakan ketiganya bisa bersamaan, apalagi
tanggal-tanggalnya juga berdekatan.
Pada
saat itu kakakku sudah punya 4 orang anak, 2 laki-laki dan 2
perempuan. Dan kami tinggal di satu rumah besar. Kakak dan keluarganya
tinggal di lantai atas, sedangkan aku tinggal di bawah, belakang. Ibuku
tinggal sendirian di tengah.
Pada
tahun 1996 ibuku meninggal (usia 72 tahun). Betapa kami semua merasa
kehilangan beliau karena selama ini beliaulah tulang punggung toko.
Selama ini aku kurang dididik untuk urusan kantor dan lebih banyak
sebagai pengawas di toko.
Sesuai
dengan surat wasiat, pada tahun 1997 rumah besar ini dibagi dua dengan
sebuah tembok dari depan sampai belakang. Nomor rumah yang semula
119-121 mengalami perubahan menjadi 117-119. Kakakku memilih yang
sebelah utara (119). Bagian ini masih kosong, jadi dia dapat membangun
sesuai keinginannya. Sedangkan bagian selatan (117) sudah ada bangunan
lama (kamar-kamar) dan sumur. Aku sebagai yang lebih muda menerima
saja, apalagi aku belum cukup kaya. Selama 10 tahun aku hanya hidup dari gaji yang diberikan oleh ibuku, sedangkan sementara itu usaha percetakan telah dihibahkan kepada kakakku.
Barang
dagangan toko yang harus dibagi dua menjadikan kami sebagai saingan
yang tinggal bersebelahan. Kakakku sempat lebih unggul karena dia rajin mendatangi
sekolah-sekolah, sementara aku hanya menunggu datangnya pembeli. Namun
rejekiku tetap mengalir. Akhir tahun 2000 untuk pertama kalinya kami
sekeluarga sempat ikut tur Bangkok-Beijing. Dan sejak itu aku belum
pernah ikut tur lagi.
Pasang
surut kehidupan berumah tangga maupun bisnis sudah kami rasakan. Aku
merasa tidak salah pilih isteri. Aku jatuh cinta padanya pada pandangan
pertama ketika aku mengajar di SMA Santa Maria, soalnya dia duduk di
bangku paling depan. Dan isteriku yang cerdas ini pandai melihat
peluang bisnis. Ketika itu dia mencoba berjualan teh yang dimasak
sendiri. Hasilnya lumayan, bisa untuk menyekolahkan anak. Kemudian dia
juga bergabung dengan Rotary International Club. Ini bisa membawa kedua
anak kami mengikuti program pertukaran pelajar ke luar negeri.
Belakangan ini bagian depan toko buku kami sudah disulap untuk
berjualan kaos oblong dan baju batik, karena ternyata souvenir-souvenir
seperti itu justru lebih banyak diminati oleh para pelancong.
Aku
berharap diriku dikaruniai tubuh yang sehat dan usia yang panjang
sehingga masih dapat menyaksikan anak-anakku tumbuh. Dan yang penting
nantinya aku bisa membantu banyak orang meraih kehidupan yang lebih
baik. Proyekku ada di www.91aja.com.
Impianku untuk masa depan adalah penduduk Indonesia tidak malas, punya
disiplin (terutama dalam membuang sampah), dan tidak korupsi lagi
karena sudah makmur.
(ditulis di http://yohanesss.multiply.com bulan Maret 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar