Kalau
ada pembantu rumah tangga tentu meringankan pekerjaan kami. Paling
tidak aku bisa terbebas dari tugas menyetrika pakaian. Menyetrika
seprei adalah pekerjaan yang paling kuhindari, soalnya kainnya lebar
sekali sedangkan meja setrika kecil. Apalagi seprei jaman sekarang, di
mana keempat sudutnya diberi karet, sehingga susah mencari ujungnya.
Mbak
ini mulai masuk tanggal 8 Oktober. Hari kedua isteriku sudah
menyampaikan pujian. Katanya si mbak kerjanya cekatan, dan masakannya
enak. Wah nanti aku mau buka warung, kata isteriku.
Komentar
kedua dari isteriku, ternyata kandungan si mbak sudah berusia 5 bulan,
bukan 2 bulan seperti pengakuannya mula-mula. Gak pa pa lah, begitu
isteriku berkata, toh masih ada waktu. Malah nanti kalau dia mau,
biarlah kalau dia masuk, anaknya dibawa, nanti isteriku yang
mengasuhnya selama si mbak bekerja. Isteriku selalu mempunyai pemikiran
positif.
Selesai
terima gaji tanggal 30 Oktober, keesokan harinya si mbak tidak masuk.
Wah berbagai pikiran negatif berkecamuk di otakku. Tapi untung tanggal 2
dia sudah masuk lagi dengan penjelasan bahwa hari kemarin dia sakit.
Beberapa hari kemudian sampai sore dia tidak pulang. Rupanya dia
kecapaian dan ketiduran di rumah kami. (Ada kamar pembantu di lantai
atas).
Lalu
tanggal 10 November dia tidak masuk lagi. Siang hari ada teman
se-kos-nya yang datang melapor bahwa semalam dia mengantar si mbak ke
rumah sakit karena melahirkan. Ya ampun, berarti baru 6,5 atau 7 bulan
usia kandungannya. Masih prematur. Gimana ya keadaan ibu dan bayinya?
Sore hari kami berdua menengok. Si mbak tampak sehat walau masih
berbaring di tempat tidur, sedangkan bayinya, yang belakangan kami tahu
hanya berbobot 1,9 kg, masih diletakkan di incubator. Waktu itu sudah
agak malam, jadi kami tidak bisa melihat ke ruang bayi.
Yang
juga datang menengok adalah teman si-kos si mbak dengan membawa pria,
yang tidak lain adalah suami si mbak ini. Belakangan isteriku mendapat
cerita bahwa mereka nikah resmi, tapi suami ini tinggal di sebuah mess
perusahaan tempat dia bekerja. Kami agak tenang karena si mbak punya
suami resmi, yang pasti akan mengurusnya. Isteriku memberikan sumbangan
berupa uang yang lumayan besarnya bila diukur dengan masa kerja yang
baru satu bulan.
Sekitar
satu minggu kemudian tahu-tahu si mbak sudah masuk kerja lagi.
Sementara itu bayinya masih di rumah sakit karena berat badannya belum
mencapai 2,5 kg. Ketika ditanya apakah dia sudah pernah menengok
bayinya, dia menjawab belum. Maka isteriku menyuruhnya menengok dan
memberikan ASI-nya. Dengan diantar oleh salah satu pegawaiku, dia
berangkat ke rumah sakit. Tapi ASI-nya tidak keluar. Jadi cuma mendapat
penjelasan bahwa berat bayinya belum cukup. Yang mengagetkan,
pegawaiku diberitahu oleh perawat bahwa nanti biaya rumah sakit akan
ditanggung sepenuhnya oleh majikan (maksudnya kami). Lho kok
bisa-bisanya dia bilang begitu, padahal kami sama sekali tidak pernah
menjanjikan apapun.
Sekitar
seminggu kemudian bayinya boleh dibawa pulang. Dengan ditemani oleh
salah satu pegawaiku, si mbak naik becak ke rumah sakit, dan pulang
langsung ke rumahku. Itu atas tawaran isteriku agar dia tidak repot dan
nantinya bisa selalu dekat dengan bayinya.. Sejak itu si mbak tidak
lagi tinggal di tempat kos, tetapi di rumah kami.
Isteriku
membawa bayi tersebut ke dokter untuk periksa kesehatan dan minta
saran. Akhirnya disarankan untuk memberi susu SGM BBLR (bayi berat
lahir rendah) yang sedikit lebih murah daripada susu yang dibawakan
oleh rumah sakit.
Dan
harus aku akui bahwa isteriku yang sudah berpengalaman mengurus bayi,
tentu lebih pandai daripada si mbak. Bongkar-bongkar gudang, dia
menemukan ranjang bayi anak kami yang dulu. Walau kondisinya sudah
tidak 100% lengkap, tapi lumayanlah bisa dipakai dulu. Jadi kalau si
mbak sedang bekerja, bayinya diletakkan di ranjang tersebut. Dan sesuai
dengan janjinya, isteriku juga mengurus bayi prematur ini, mengganti
popok, menggendong, memberi susu.
Tidak
ada sanak famili si mbak yang datang menengok. Bahkan suaminya pun
dikabarkan kabur. Konon suaminya pernah menganjurkan agar bayinya
dibuang saja. Hanya dua orang mantan teman sekerja yang datang
menengoknya. Kami mendapat info dari beberapa pegawai bahwa kalau
prematurnya 7 bulan itu berarti sudah matang, tapi kalau 8 bulan justru
jadi muda kembali. Dari seorang tukang pijat istriku juga dapat info
bahwa bayi prematur itu kalau pintar ya pintar sekali, tapi kalau bodoh
ya bodoh sekali. Isteriku, dengan indera keenamnya, bisa melihat bahwa
bayi ini mempunyai masa depan yang cerah. Maka itu dengan suka cita
isteriku merawat bayi ini, mengajak bicara dll.
Bayi
ini, karena kondisinya, masih mengalami kesulitan dalam minum susu.
Terkadang tersedak dan keluar dari hidung atau mulut. Dengan penuh
kesabaran isteriku membersihkan kotoran yang tumpah. Hanya siang dan
malam bayi ini tidur bersama si mbak di kamarnya di atas. Dalam waktu
lima hari satu kotak susu SGM BBLR habis. Susu ini harganya sekitar Rp
40.000 dan ternyata tidak tersedia di tempat umum, bahkan di apotek
sebelah rumah pun tidak ada. Jadi kami mencari di tempat yang jual.
Genap
berusia 40 hari, untuk menggembirakan si mbak, kami buatkan nasi
kuning dan dibagikan kepada pegawai-pegawai kami. Kami juga panggilkan
tukang cukur untuk menggundulinya. Istriku bahkan sudah berikrar untuk
menyekolahkan bayi itu sampai besar.
Tanggal 9 Januari kemarin si bayi genap berusia dua bulan. Minumnya sudah semakin banyak. Satu kotak susu habis dalam 3 hari.
Kami
tidak tahu faktor kejiwaan apa yang melanda si mbak, cuma terkadang
dia suka mengurung diri di kamarnya, bisa seharian penuh. Si mbak ini
kalau membawa bayi agak menakutkan, karena seperti membawa nampan saja.
Kalau menggendong dengan selendang juga menakutkan, karena posisi
tubuh bayi dibuat mendatar di perutnya.
Secara
mendadak, pada tanggal 13 Januari kemarin, sekitar pukul 7 sore, dia
membawa bayinya (posisi seperti membawa nampan) dari lantai atas turun,
dan dengan singkat bilang kepada isteriku “Bu, saya mau pergi.” Lalu
dibawa turun ke pintu belakang. Kami mengejarnya. “He, mau dibawa ke
mana?” tanya isteriku. Dia menjawab bahwa bayinya akan dititipkan pada
tetanggaku di kampung, lalu sesudah itu dia mau membereskan pakaian,
dan mau pergi meninggalkan rumah kami.
Edan,
ini sungguh edan. Malam-malam mau pergi tanpa tujuan jelas, dan tanpa
uang pula. Dengan tegas dan keras isteriku melarangnya. Tapi keesokan
harinya setelah berpikir panjang, akhirnya isteriku mengambil keputusan
untuk membiarkan si mbak pergi. Siang sehabis makan, si mbak
dipanggil. Setelah bicara panjang lebar, akhirnya si mbak disuruh
mengemasi barang-barangnya. Gantian si mbak yang merasa kaget dan
tercenung sampai lama. Tapi tetap dipaksa oleh isteriku. Dan setelah
menandatangani surat pernyataan, dia kami lepas. Isteriku hanya
berpesan supaya menjaga bayinya baik-baik karena masa depannya cerah.
Jangan sampai anaknya dibawa untuk mengemis. Kalau kelak dia tidak
sanggup mengurus bayinya, isteriku mau membantu mengurus agar anaknya
diserahkan ke panti asuhan. Sementara menunggu si mbak berkemas,
isteriku masih mengganti popok, menimang dan memberi susu bayinya.
Dengan sangu dua kotak susu yang sudah terlanjur dibeli dan uang beberapa ratus ribu, dia kami sewakan taksi menuju ke Klaten. Buset, taksinya minta ongkos 200 ribu. Pada saat itu dia menangis dan isteriku juga menangis. Aku menjauh supaya tidak ikut menangis.
Dengan sangu dua kotak susu yang sudah terlanjur dibeli dan uang beberapa ratus ribu, dia kami sewakan taksi menuju ke Klaten. Buset, taksinya minta ongkos 200 ribu. Pada saat itu dia menangis dan isteriku juga menangis. Aku menjauh supaya tidak ikut menangis.
Faktor
kejiwaan apakah yang melanda si mbak ini sehingga dia berani menolak
fasilitas yang dijanjikan oleh isteriku. Jangan-jangan dia merasa takut
anaknya kelak lebih dekat kepada kami daripada kepada dia sebagai ibu
kandungnya.
Tanggal
15 pagi, sementara aku internetan, beberapa kali terngiang di
telingaku suara tangisan bayi. Mungkinkah itu halusinasi? Aku sendiri
masih suka berkaca-kaca kalau mengingat kejadian itu. Kasihan bayinya.
Aku sudah pernah memberitahu si mbak supaya dia membiarkan kami merawat
anaknya. Aku beri perumpanaan kisah Nabi Musa.
Hatiku
tambah tercekat ketika terdengar alunan suara Waldjinah “tak lelo lelo
lelo ledung” dan juga nyanyian Ebiet G. Ade “ho ho, engkau anakku,
yang segra tumbuh dewasa, dengan selaksa beban, mestinya sesuci
bulan….”
Maksud
baik tinggallah maksud baik. Aku dapat sms dari seorang teman yang
mengatakan “Wah pembantuku minggat dengan utang 4 juta rupiah, padahal
anaknya aku sekolahkan. Pembantu yang terakhir ini gajinya sudah tinggi
tapi suka membentak-bentak aku.” Aku hanya termenung, mengapa di
negaraku, dan juga di negara-negara lain tidak ada departeman majikan.
Adanya hanya departeman tenaga kerja saja. Padahal majikan pun perlu
mendapat perlindungan dari tenaga kerja yang suka mendadak keluar.
Bukankah demikian?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar