Senin, 13 Agustus 2012

Rebutan Bayi

Ini kisah tentang pembantu terakhir yang kami dapatkan beberapa bulan yang lalu. Sebelumnya isteriku bilang ada yang melamar untuk bekerja, tapi sayangnya kok sedang hamil. Tetapi isteriku mengambil segi positifnya. Gak pa pa, wong masih hamil muda, katanya sih baru dua bulan. Lagipula tidak seperti pembantu yang sebelumnya, mbak ini tinggal di tempat kos. Jadi nanti bekerjanya dari pagi hingga sore, tidak menginap.

Kalau ada pembantu rumah tangga tentu meringankan pekerjaan kami. Paling tidak aku bisa terbebas dari tugas menyetrika pakaian. Menyetrika seprei adalah pekerjaan yang paling kuhindari, soalnya kainnya lebar sekali sedangkan meja setrika kecil. Apalagi seprei jaman sekarang, di mana keempat sudutnya diberi karet, sehingga susah mencari ujungnya.

Mbak ini mulai masuk tanggal 8 Oktober. Hari kedua isteriku sudah menyampaikan pujian. Katanya si mbak kerjanya cekatan, dan masakannya enak. Wah nanti aku mau buka warung, kata isteriku.

Komentar kedua dari isteriku, ternyata kandungan si mbak sudah berusia 5 bulan, bukan 2 bulan seperti pengakuannya mula-mula. Gak pa pa lah, begitu isteriku berkata, toh masih ada waktu. Malah nanti kalau dia mau, biarlah kalau dia masuk, anaknya dibawa, nanti isteriku yang mengasuhnya selama si mbak bekerja. Isteriku selalu mempunyai pemikiran positif.

Selesai terima gaji tanggal 30 Oktober, keesokan harinya si mbak tidak masuk. Wah berbagai pikiran negatif berkecamuk di otakku. Tapi untung tanggal 2 dia sudah masuk lagi dengan penjelasan bahwa hari kemarin dia sakit. Beberapa hari kemudian sampai sore dia tidak pulang. Rupanya dia kecapaian dan ketiduran di rumah kami. (Ada kamar pembantu di lantai atas).

Lalu tanggal 10 November dia tidak masuk lagi. Siang hari ada teman se-kos-nya yang datang melapor bahwa semalam dia mengantar si mbak ke rumah sakit karena melahirkan. Ya ampun, berarti baru 6,5 atau 7 bulan usia kandungannya. Masih prematur. Gimana ya keadaan ibu dan bayinya? Sore hari kami berdua menengok. Si mbak tampak sehat walau masih berbaring di tempat tidur, sedangkan bayinya, yang belakangan kami tahu hanya berbobot 1,9 kg, masih diletakkan di incubator. Waktu itu sudah agak malam, jadi kami tidak bisa melihat ke ruang bayi.

Yang juga datang menengok adalah teman si-kos si mbak dengan membawa pria, yang tidak lain adalah suami si mbak ini. Belakangan isteriku mendapat cerita bahwa mereka nikah resmi, tapi suami ini tinggal di sebuah mess perusahaan tempat dia bekerja. Kami agak tenang karena si mbak punya suami resmi, yang pasti akan mengurusnya. Isteriku memberikan sumbangan berupa uang yang lumayan besarnya bila diukur dengan masa kerja yang baru satu bulan.

Sekitar satu minggu kemudian tahu-tahu si mbak sudah masuk kerja lagi. Sementara itu bayinya masih di rumah sakit karena berat badannya belum mencapai 2,5 kg. Ketika ditanya apakah dia sudah pernah menengok bayinya, dia menjawab belum. Maka isteriku menyuruhnya menengok dan memberikan ASI-nya. Dengan diantar oleh salah satu pegawaiku, dia berangkat ke rumah sakit. Tapi ASI-nya tidak keluar. Jadi cuma mendapat penjelasan bahwa berat bayinya belum cukup. Yang mengagetkan, pegawaiku diberitahu oleh perawat bahwa nanti biaya rumah sakit akan ditanggung sepenuhnya oleh majikan (maksudnya kami). Lho kok bisa-bisanya dia bilang begitu, padahal kami sama sekali tidak pernah menjanjikan apapun.

Sekitar seminggu kemudian bayinya boleh dibawa pulang. Dengan ditemani oleh salah satu pegawaiku, si mbak naik becak ke rumah sakit, dan pulang langsung ke rumahku. Itu atas tawaran isteriku agar dia tidak repot dan nantinya bisa selalu dekat dengan bayinya.. Sejak itu si mbak tidak lagi tinggal di tempat kos, tetapi di rumah kami.

Isteriku membawa bayi tersebut ke dokter untuk periksa kesehatan dan minta saran. Akhirnya disarankan untuk memberi susu SGM BBLR (bayi berat lahir rendah) yang sedikit lebih murah daripada susu yang dibawakan oleh rumah sakit.

Dan harus aku akui bahwa isteriku yang sudah berpengalaman mengurus bayi, tentu lebih pandai daripada si mbak. Bongkar-bongkar gudang, dia menemukan ranjang bayi anak kami yang dulu. Walau kondisinya sudah tidak 100% lengkap, tapi lumayanlah bisa dipakai dulu. Jadi kalau si mbak sedang bekerja, bayinya diletakkan di ranjang tersebut. Dan sesuai dengan janjinya, isteriku juga mengurus bayi prematur ini, mengganti popok, menggendong, memberi susu.

Tidak ada sanak famili si mbak yang datang menengok. Bahkan suaminya pun dikabarkan kabur. Konon suaminya pernah menganjurkan agar bayinya dibuang saja. Hanya dua orang mantan teman sekerja yang datang menengoknya. Kami mendapat info dari beberapa pegawai bahwa kalau prematurnya 7 bulan itu berarti sudah matang, tapi kalau 8 bulan justru jadi muda kembali. Dari seorang tukang pijat istriku juga dapat info bahwa bayi prematur itu kalau pintar ya pintar sekali, tapi kalau bodoh ya bodoh sekali. Isteriku, dengan indera keenamnya, bisa melihat bahwa bayi ini mempunyai masa depan yang cerah. Maka itu dengan suka cita isteriku merawat bayi ini, mengajak bicara dll.

Bayi ini, karena kondisinya, masih mengalami kesulitan dalam minum susu. Terkadang tersedak dan keluar dari hidung atau mulut. Dengan penuh kesabaran isteriku membersihkan kotoran yang tumpah. Hanya siang dan malam bayi ini tidur bersama si mbak di kamarnya di atas. Dalam waktu lima hari satu kotak susu SGM BBLR habis. Susu ini harganya sekitar Rp 40.000 dan ternyata tidak tersedia di tempat umum, bahkan di apotek sebelah rumah pun tidak ada. Jadi kami mencari di tempat yang jual.




Genap berusia 40 hari, untuk menggembirakan si mbak, kami buatkan nasi kuning dan dibagikan kepada pegawai-pegawai kami. Kami juga panggilkan tukang cukur untuk menggundulinya. Istriku bahkan sudah berikrar untuk menyekolahkan bayi itu sampai besar.

Tanggal 9 Januari kemarin si bayi genap berusia dua bulan. Minumnya sudah semakin banyak. Satu kotak susu habis dalam 3 hari.

Kami tidak tahu faktor kejiwaan apa yang melanda si mbak, cuma terkadang dia suka mengurung diri di kamarnya, bisa seharian penuh. Si mbak ini kalau membawa bayi agak menakutkan, karena seperti membawa nampan saja. Kalau menggendong dengan selendang juga menakutkan, karena posisi tubuh bayi dibuat mendatar di perutnya.

Secara mendadak, pada tanggal 13 Januari kemarin, sekitar pukul 7 sore, dia membawa bayinya (posisi seperti membawa nampan) dari lantai atas turun, dan dengan singkat bilang kepada isteriku “Bu, saya mau pergi.” Lalu dibawa turun ke pintu belakang. Kami mengejarnya. “He, mau dibawa ke mana?” tanya isteriku. Dia menjawab bahwa bayinya akan dititipkan pada tetanggaku di kampung, lalu sesudah itu dia mau membereskan pakaian, dan mau pergi meninggalkan rumah kami.

Edan, ini sungguh edan. Malam-malam mau pergi tanpa tujuan jelas, dan tanpa uang pula. Dengan tegas dan keras isteriku melarangnya. Tapi keesokan harinya setelah berpikir panjang, akhirnya isteriku mengambil keputusan untuk membiarkan si mbak pergi. Siang sehabis makan, si mbak dipanggil. Setelah bicara panjang lebar, akhirnya si mbak disuruh mengemasi barang-barangnya. Gantian si mbak yang merasa kaget dan tercenung sampai lama. Tapi tetap dipaksa oleh isteriku. Dan setelah menandatangani surat pernyataan, dia kami lepas. Isteriku hanya berpesan supaya menjaga bayinya baik-baik karena masa depannya cerah. Jangan sampai anaknya dibawa untuk mengemis. Kalau kelak dia tidak sanggup mengurus bayinya, isteriku mau membantu mengurus agar anaknya diserahkan ke panti asuhan. Sementara menunggu si mbak berkemas, isteriku masih mengganti popok, menimang dan memberi susu bayinya. 



Dengan sangu dua kotak susu yang sudah terlanjur dibeli dan uang beberapa ratus ribu, dia kami sewakan taksi menuju ke Klaten. Buset, taksinya minta ongkos 200 ribu. Pada saat itu dia menangis dan isteriku juga menangis. Aku menjauh supaya tidak ikut menangis.

Faktor kejiwaan apakah yang melanda si mbak ini sehingga dia berani menolak fasilitas yang dijanjikan oleh isteriku. Jangan-jangan dia merasa takut anaknya kelak lebih dekat kepada kami daripada kepada dia sebagai ibu kandungnya.

Tanggal 15 pagi, sementara aku internetan, beberapa kali terngiang di telingaku suara tangisan bayi. Mungkinkah itu halusinasi? Aku sendiri masih suka berkaca-kaca kalau mengingat kejadian itu. Kasihan bayinya. Aku sudah pernah memberitahu si mbak supaya dia membiarkan kami merawat anaknya. Aku beri perumpanaan kisah Nabi Musa.

Hatiku tambah tercekat ketika terdengar alunan suara Waldjinah “tak lelo lelo lelo ledung” dan juga nyanyian Ebiet G. Ade “ho ho, engkau anakku, yang segra tumbuh dewasa, dengan selaksa beban, mestinya sesuci bulan….”

Maksud baik tinggallah maksud baik. Aku dapat sms dari seorang teman yang mengatakan “Wah pembantuku minggat dengan utang 4 juta rupiah, padahal anaknya aku sekolahkan. Pembantu yang terakhir ini gajinya sudah tinggi tapi suka membentak-bentak aku.” Aku hanya termenung, mengapa di negaraku, dan juga di negara-negara lain tidak ada departeman majikan. Adanya hanya departeman tenaga kerja saja. Padahal majikan pun perlu mendapat perlindungan dari tenaga kerja yang suka mendadak keluar. Bukankah demikian?

Tidak ada komentar: