Jumat, 17 Agustus 2012

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (dahulu bernama Daerah Istimewa Aceh)

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (dahulu bernama Daerah Istimewa Aceh)


Nama Provinsi : Nanggroe Aceh Darussalam
Tanggal Berdiri : 7 Desember 1959
Dasar Pendirian : UU No. 24 Tahun 1956
            (UU No. 18 Tahun 2001 mengubah nama Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)
Ibukota : Banda Aceh
Luas Wilayah : ± 57.365,57 km²
Letak Geografis : 2°-6° Lintang Utara dan 95°-98° Bujur Timur
Terletak di Pulau Sumatera
Jumlah Daerah Tingkat II : 23 Kabupaten / Kota
Lambang Provinsi : Pancacita
Data dikutip dari :
http://organisasi.org/profil-provinsi-nangro-aceh-darussalam-daerah-istimewa-aceh-nad-pengetahuan-umum-indonesia
 
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Alamat Kantor Gubernur: Jalan T. Nyak Arief No. 219, Banda Aceh
Telepon: 0651-51377
Fax: 0651-32386
Email: bpde@nad.go.id
Website: http://www.nad.go.id/
 
Daerah Tingkat II nya:
1. Kabupaten Aceh Barat
2. Kabupaten Aceh Barat Daya
3. Kabupaten Aceh Besar
4. Kabupaten Aceh Jaya
5. Kabupaten Aceh Selatan
6. Kabupaten Aceh Singkil
7. Kabupaten Aceh Tamiang
8. Kabupaten Aceh Tengah
9. Kabupaten Aceh Tenggara
10. Kabpuaten Aceh Timur
11. Kabupaten Aceh Utara
12. Kabupaten Bener Meriah
13. Kabupaten Bireuen
14. Kabupaten Gayo Lues
15. Kabupaten Nagan Raya
16. Kabupaten Pidie
17. Kabupaten Pidie Raya
18. Kabupaten Simeulue
19. Kota Banda Aceh
20. Kota Langsa
21. Kota Lhokseumawe
22. Kota Sabang
23. Kota Subulussalam
(NB: Pada peta wilayah di atas belum ada Kabupaten Pidie Raya dan Kota Subulussalam karena keduanya merupakan pemekaran yang terbaru.)
Data dikutip dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Nanggroe_Aceh_Darussalam
Gambar dikutip dari website KPU
 Lambang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Pancacita (Lima Tujuan)
(NB: Saya mencari gambar dengan resolusi 800 x 600 atau lebih besar lagi agar lebih jelas detilnya.)
Arti lambang:
Lambang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diambil dari Kupiah Aceh berbentuk segi lima yang mengisyaratkan falsafah hidup rakyat dan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang disebut Pancacita.
Dacing melambangkan keadilan.
Rencong melambangkan kepahlawanan.
Padi, lada, kapas dan cerobong melambangkan kemakmuran.
(padi sebagai bahan pangan pokok; lada sebagai kekayaan utama Aceh di masa lampau; kapas sebagai bahan sandang utama; cerobong sebagai lambang industrialisasi).
Kubah mesjid melambangkan keagamaan.
Kitab dan kalam melambangkan ilmu pengetahuan (kesejahteraan).
Warna putih melambangkan kemurnian.
Warna kuning melambangkan kejayaan.
Warna hijau melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran.
Dikutip dari http://www.nad.go.id/index.php?option=isi&task=view&id=4&Itemid=31

Sekilas Nanggroe Aceh Darussalam
Aceh atau yang resminya disebut Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah Istimewa yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang sering juga disebut Serambi Mekah ini terletak di barat laut Sumatera dengan kawasan seluas 57.365,57 km persegi atau merupakan 12,26% dari Pulau Sumatera. Aceh memiliki 119 buah pulau, 73 sungai yang besar dan 2 buah danau. Aceh dikelilingi Selat Malaka di sebelah utara, Provinsi Sumatera Utara di timur, dan Lautan Hindia di selatan dan barat. Ibukota Aceh adalah Banda Aceh yang dulunya dikenal sebagai “Kutaraja.”
Sejarah
Babad Cina abad 6 sebelum Masehi telah menyatakan keberadaan sebuah kerajaan di ujung utara Pulau Sumatera yang mereka kenali sebagai Po-Li. Naskah Arab dan India kurun ke-9 juga telah mengatakan hal yang sama. Dibanding dengan kawasan-kawasan Indonesia yang lain, Aceh merupakan daerah pertama yang mempunyai hubungan langsung dengan dunia luar.
Marco Polo, pada tahun 1292, sewaktu dalam pelayaran ke Parsi dari Cina, telah singgah ke Sumatera. Beliau melaporkan terdapat enam pelabuhan yang sibuk di bagian utara pulau tersebut. Mereka termasuk pelabuhan Peureulak, Samudera dan Lambri. Kerajaan Islam yang pertama kali berdiri di Aceh adalah Kerajaan Perlak pada tahun 804, lebih 100 tahun setelah Islam tiba di Nusantara. Pembuatan pelabuhan di Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 telah menyebabkan ramai pedagang Arab dan India memindahkan perdagangan mereka ke Aceh. Kedatangan mereka membawa kekayaan dan kemakmuran kepada Aceh, dan menandakan bermulanya dominasi Aceh dalam perdagangan dan politik di utara Sumatera khususnya dan Nusantara pada umumnya. Keadaan ini mencapai puncaknya antara tahun 1610 dan 1640.
Agama
Mayoritas penduduk di Provinsi NAD memeluk agama Islam. Selain itu Provinsi NAD memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi lain, karena di provinsi ini diberlakukan Syariat Islam kepada warga yang menganut agama Islam.
Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia
Demografi
Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku, kaum dan bangsa. Bentuk fisik mereka menunjukkan ciri-ciri orang Nusantara, Cina, Eropa dan India. Leluhur orang Aceh dikatakan telah datang dari Semenanjung Malaysia, Champa, Cochin China dan Kamboja. Aceh sering dianggap sebagai singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan (Hindia).
Kumpulan etnik yang terdapat di Aceh adalah:
Orang Aceh (terdapat di seluruh wilayah Aceh)
Orang Gayo (di Aceh Tengah, sebagian Aceh Timur, Bener Meriah dan Gayo Lues)
Orang Alas (di Aceh Tenggara)
Orang Tamiang (di Aceh Tamiang)
Orang Aneuk Jamee (di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya)
Orang Kluet (di Aceh Selatan)
Orang Simeulue (di Pulau Simeulue)
Di Aceh juga banyak orang keturunan Arab. Dan juga ada sebuah suku bangsa keturunan Eropa di wilayah Aceh Jaya. Mereka beragama Islam dan dipercayai adalah keturunan dari laskar Portugis yang telah memeluk agama Islam, mengamalkan budaya Aceh dan hanya bertutur dalam bahasa Aceh dan bahasa Indonesia.
Pahlawan-pahlawan Aceh semasa penjajahan Belanda:
  • Teuku Umar
  • Panglima Polem
  • Pocut Baren
  • Laksamana Keumalahayati
  • Pocut Meurah Intan
  • Teuku Nyak Arief
  • Teungku Fakinah
  • Teungku Chik Ditiro
  • Cut Nyak Dhien
  • Cut Nyak Meutia
  • Teuku Chik Di Tunong
Teuku Umar
Salah satu dari sekian banyak Pahlawan Nasional yang patut diteladani yaitu Teuku Umar. Dia merupakan seorang pahlawan pejuang melawan kolonialisme Belanda di Aceh yang berlangsung sejak 1873 hingga menjelang masuknya Jepang ke Indonesiatahun 1942. Sedangkan perjuangan Teuku Umar berlangsung dari tahun 1875 sampai 1899.
Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh, Aceh Barat pada tahun 1854. Ayahnya bernama Achmad Mahmud yang berasal dari keturunan uleebalang Meulaboh. Nenek moyang Teuku Umar berasal dari keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makudum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh yang terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putera yaitu Nanta Setia dan Achmad Mahmud.
Ketika masih kecil Umar merupakan anak yang nakal tetapi sangat cerdas. Dia sangat suka berkelahi dengan teman sepermainannya. Umar pernah diangkat sebagai kepala kelompok anak-anak yang ada di kampungnya. Setelah menginjak masa remaja sifat Umar mulai berubah. Jiwa kerakyatannya mulai timbul dalam dirinya dan ia mempunyai cita-cita dan rasa kemerdekaan yang meresap dalam tulang sumsumnya. Ketika perang Aceh meletus pada tahun 1873 Umar baru berumur 19 tahun. Umar belum ikut dalam perang ini di samping usianya masih sangat belia dan juga jiwanya belum mantap walaupun pada saat itu dia sudah diangkat menjadi Keuchik di daerah Daya Meulaboh.
Ketika umur 20 tahun Umar menikah dengan Nyak Sopiah, anak Uleebalang Glumpang. Ia semakin dihormati dan disegani karena mempunyai sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup. Untuk lebih menaikkan derajatnya, Umar menikah lagi dengan Nyak Malighai, seorang puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Mulai saat itu Umar memakai gelar Teuku dan bercita-cita untuk membebaskan daerahnya dari kekuasaan Belanda.
Umar tidak pernah memperoleh pendidikan sekolah seperti pemimpin-pemimpin lainnya, tetapi ia dapat menjadi pemimpin yang cakap, disiplin dan mempunyai kemauan yang keras.
Setelah Teuku Ibrahim Lamnga gugur dalam perang melawan Belanda pada tahun 1878, isterinya (Cut Nyak Dhien) menjadi janda. Teuku umar selalu memberi perhatian khusus kepada Cut Nyak Dhien. Sifat keprajuritan yang dimiliki oleh Cut Nyak Dhien yang membuat Teuku Umar diam-diam jatuh cinta kepada Cut Nyak Dhien. Cut Nyak Dhien juga menyambut cinta dari Teuku Umar dan akhirnya mereka menikah.
Dari perkawinan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien lahirlah seorang anak perempuan yang diberi nama Cut Gambang. Anak ini lahir di tempat pengungsian yang jauh dari kampung halamannya karena pada saat itu Teuku Umar sedang memimpin pertempuran melawan Belanda dan rumahnya yang ada di Montasik sudah dikuasai oleh Belanda.

Tidak ada komentar: