Minggu, 19 Agustus 2012

Serasa hampir tewas gara-gara ibu dan anak

pemindahan dari yohanesss.multiply.com


Waduh, tampak kejam juga judul cerita ini. Tapi ini memang kisah nyata dan bukan sebuah rekayasa. Sebuah kenyataan pahit yang aku alami pada pagi hari tanggal 2 Juli 2008 yang lalu.

Kami semua sedang dalam persiapan berangkat ke Jakarta karena pada tanggal 4 Juli anak kami (Liva) akan berangkat ke Jepang untuk ikut program pertukaran pelajar.

Seperti biasanya, setiap pagi aku bangun jam 4. Lalu menyeduh kopi, terus menyalakan komputer, buka email dan buka Multiply (ini sudah jadi menu harian!!!) Setengah jam setelah online, aku mulai menyeruput kopi. Sedikit demi sedikit sampai habis. Biasanya jam 5 aku sudah mandi pagi. Itu menu pagiku.

Tapi pada tanggal 2 pagi itu ada suatu keadaan yang terasa aneh sekali. Sewaktu aku sedang menyeduh kopi, dadaku terasa ada getaran halus yang berulang-ulang. Deggg.... apakah aku mendapat serangan jantung??? Kepala sedikit muter, kayak vertigo. Mau bangunin isteri tidak sampai hati karena dia masih pulas. Apa daya, aku tetap pada kerja rutinku sampai jam 5. Lalu aku masuk ke kamar mandi. Tapi berhubung kondisi kurang fit, pintunya tidak aku kancing dari dalam. Takut kalau ada apa-apa.
Aku tidak membangunkan isteri maupun anakku. Apalagi anakku sudah tidak sekolah, tinggal ambil rapor yang rencananya mau kami lakukan sekitar jam 9.

Aku sudah mencoba melakukan tugas rutinku yaitu pergi keluar untuk ambil majalah di agen. Biasanya aku naik mobil ke sana, tapi kali ini baru jalan sekitar seratus meter kepalaku terasa bolak-balik seperti mau jatuh. Akhirnya kuputuskan untuk pulang saja dan aku tiduran.

Setelah makan dan membuka toko akhirnya aku baru lapor pada isteriku. Langsung saja aku dikeroki, dan ternyata memang gosong-gosong. Mungkin akibat kecapekan, apalagi karena malam minggu tanggal 28 Juni kami mengikuti orientasi anak-anak yang mau ikut pertukaran pelajar di Kaliurang dan jam 11 malam kami baru jalan pulang. Waktu itu aku nyetir sambil terkantuk-kantuk. Puji Tuhan aku bisa selamat sampai di rumah lho, padahal beberapa kali aku merasa sudah tertidur sambil nyetir.

Sakit jantung? Wah ndak ada gejala tuh? Tapi memang papa dulu meninggal karena serangan jantung pada usia 55 tahun, dan usiaku saat ini 52 tahun. Duh semakin ngeri. Kalau aku mati mendadak gimana ya? Padahal lusa kan Liva mau berangkat ke Jepang. Lalu aku teringat, konon doa banyak orang bisa menyelamatkan kita. Maka sambil masih dikeroki, hp kupasang mode silent dan kirim sms ke banyak orang. Mayoritas mengirim sms balasan yang menyemangatiku. Pak Freddy malah langsung menelepon dan mengingatkan kalau serangan jantung jangan dikeroki karena ada saudaranya yang langsung bablas tewas karena itu. (Hanya dua orang yang membalas sms-ku dengan menanyakan “ini apaan sih?” Uh, dogol amat mereka ini ya.)

Setelah selesai kerokan, kami memutuskan untuk periksa ke RS Panti Rapih. Tapi sebelumnya singgah dulu di SMA Stece untuk ambil rapor anakku dan sekalian pamit pada suster kepala sekolah.

Sampai di Panti Rapih kami menengok Anin dulu. Anin adalah teman Liva yang mau ke Jerman.
Rupanya Anin juga kecapekan atau mungkin ada gejala lain sehingga tampak seperti gejala DB tapi juga gejala lever. Trombositnya menurun.

Di Panti Rapih kami memilih dokter Edhi Dharma. Ini dokter yang sudah jadi langganan sejak anak-anak kami lahir. Memang di tempat prakteknya dia lebih banyak dikunjungi pasien anak-anak walaupun dia bukan spesialis anak-anak. Kami memilih beliau karena beliau punya “tangan dingin” dalam membuatkan resep. Obat-obat racikannya ringan dan manjur. Memang adikku ada yang berkomentar “Lho kok bukan ke dokter spesialis penyakit dalam. Kok malah ke dokter anak.” Bahkan suster yang mengasisteni dr Edhi juga berkomentar yang sama. Ah, kalian nggak tau saja, jawabku dalam hati. Dulu sekali aku pernah ke dokter Sidarto, ahli penyakit dalam, lupa sakit apa, dikasih obat yang tidak cocok, sampai aku muntah-muntah. Bahkan dari dokter yang sama aku pernah dioperkan ke dokter bedah, dan divonis harus operasi usus buntu tahun 1998, padahal sampai sekarang aku tetap merasa sakit jika tidurnya miring ke kanan terlalu lama. Malpraktek he.

Oke, kembali ke dokter Edhi. Aku disuruh periksa ECG (EKG). Hasilnya baik. Cuma tensiku agak rendah (100/60). Dokter bertanya-tanya “Sebelum ini kamu minum obat apa?” Aku ingat sebelum kerokan aku disuruh minum Biogesic oleh isteriku. Dokternya kok kayak detektif, dia mendesak dan bilang “Ndak mungkin, kamu pasti minum sesuatu yang lain.” Aku baru ingat bahwa malam sebelumnya aku beli obat batuk cap ibu dan anak karena aku ada batuk-batuk kecil yang sudah agak lama tidak hilang. “Nah itu dia,” kata dokter. “Kamu tidak cocok minum obat itu. Dan itu yang menyebabkan jantungmu berdebar.”
Walah, iya to dok? Ya, ampyun, gara-gara ibu dan anak, aku hampir tewas.

Obat batuk ini memang pernah menjadi senjata pamungkas ketika beberapa bulan yang lalu aku terserang batuk dan sudah minum Konimex maupun Vicks Formula tidak kunjung sembuh. Rasanya memang tidak enak. Pekat sekali dan sedikit bau hanyir. (Aku suka menyebutnya sebagai bau seng atau bau pipa karatan.)





Tidak ada komentar: