Jumat, 17 Agustus 2012

Provinsi Sulawesi Selatan

Provinsi Sulawesi Selatan


Nama Provinsi : Sulawesi Selatan
Tanggal Berdiri (Hari Jadi) : 13 Desember 1960
Dasar Pendirian : UU No. 47 tahun 1960
Ibukota : Makassar (sebelumnya disebut Ujung Pandang)
Luas Wilayah : ± 62.482 km²
Jumlah Penduduk : 7.520.204 (sensis tahun 2006)
Letak Geografis : 0°12’-8° Lintang Selatan dan 116°48’-122°36’ Bujur Timur
Terletak di Pulau Sulawesi
Jumlah Daerah Tingkat II : 23 Kabupaten dan Kota
Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan
Alamat : Jalan Urip Sumoharjo 269, Makassar
Telepon : 0411-453050
Fax : 0411-453489
Email :
Website : http://www.sulsel.go.id

Daerah Tingkat II nya :

1. Kabupaten Bantaeng
2. Kabupaten Barru
3. Kabupaten Bone
4. Kabupaten Bulukumba
5. Kabupaten Enrekang
6. Kabupaten Gowa
7. Kabupaten Jeneponto
8. Kabupaten Luwu
9. Kabupaten Luwu Timur
10. Kabupaten Luwu Utara
11. Kabupaten Maros
12. Kabupaten Pangkajene Kepulauan (disingkat Pangkep)
13. Kabupaten Pinrang
14. Kabupaten Selayar
15. Kabupaten Sinjai
16. Kabupaten Sidenreng Rappang (disingkat Sidrap)
17. Kabupaten Soppeng
18. Kabupaten Takalar
19. Kabupaten Tana Toraja
20. Kabupaten Wajo
21. Kota Makassar
22. Kota Palopo
23. Kota Pare-pare
24. (pemekaran baru) Kabupaten Toraja Utara

Arti Lambang Provinsi:


Lambang Provinsi Sulawesi Selatan diatur dalam Peraturan Daerah Nomor2 tahun 1972 yang menggambarkan unsur-unsur historis, kultural, patriotik, sosiologis, ekonomi dan menunjukkan bahwa Daerah Sulawesi Selatan merupakan bagian mutlak dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lambang daerah tersebut terdiri atas tujuh bagian, masing-masing sebagai berikut:
1.  Bintang bersudut dan bersinar lima sebagai Nur cahaya yang mewujudkan lambang Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.     Lingkaran 17 buah padi dan 8 kapas dengan kelopak bergerigi 4 dan buah bergerigi 5 melambangkan 17-8-45 sebagai Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
3.     Benteng Somba Opu dilihat dari atas mewujudkan lambang kepahlawanan rakyat Sulawesi Selatan dalam menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme dan feodalisme. Pada ruang benteng masing-masing berisi:
  1. Perahu phinisi berlayar di atas tiga gelombang melambangkan jiwa pelaut yang ulet, penuh militansi dan sanggup melaksanakan tujuan perjuangan Indonesia. Perahu berhaluan ke barat, disesuaikan dengan letak geografis ibukota Republik Indonesia.
  2. Cangkul menggambarkan masyarakat agraris sebagai basis dan gerigi mesin menggambarkan industri sebagai tulang punggung.
  3. Buah kelapa menggambarkan kekayaan hasil bumi Sulawesi Selatan.
4.     Sebilah badik terhunus berpamor satu berlekuk lima melambangkan jiwa kepahlawanan serta kesiapsiagaan dalam membela kehormatan bangsa dan tanah air yang berdasarkan Pancasila. Lima lekuk pamor disesuaikan bilangan-bilangan keramat tiap sila dalam falsafat Pancasila.
5.     Gunung, desa, dan petak-petak sawah sebagai pangkal kesuburan menuju masyarakat adil dan makmur. 23 petak sawah disesuaikan dengan jumlah daerah tingkat II di Sulawesi Selatan yang keseluruhannya merupakan salah satu lumbung padi diIndonesia.
6.     Semboyan yang ditulis dalam huruf Lontara yang berbunyi Toddo’puli adalah semboyan masyarakat Sulawesi Selatan yang bermakna teguh dalam keyakinan.
7.     Selembar pita bertuliskan “Sulawesi Selatan.” Pita bercorak sutera melambangkan kebudayaan khas yang bernilai tinggi sejak dahulu kala.


Pahlawan Sulawesi Selatan
Sultan Hasanuddin
Sultan Hasanuddin berasal dari Kesultanan Gowa, Sulawesi Selatan. Sultan Hasanuddin lahir tanggal 12 Juni 1631. Sewaktu kecil dia bernama I Mallambosi. I Mallambosi menjadi kebanggaan istana. Dia cerdas, pengetahuannya luas, ramah dan juga sopan. Ia mempunyai tanggung jawab yang besar. Ahli dalam bidang keprajuritan dan ahli berdiplomasi. Karena itu, sejak muda ia telah menerima tugas-tugas besar. Mula-mula ia menjadi duta keliling. Setelah itu ia diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Kesultanan Gowa.
Pada tahun 1655 ayah I Mallambosi yang bernama Sultan Malikussaid mangkat. Para pembesar istana, para bangsawan, para penasehat dan permaisuri mengadakan musyawarah untuk mencari pengganti Sultan. Hasil musyawarah memutuskankan bahwa I Mallambosi diangkat menjasi Sultan Gowa ke XVI. I Mallambosi berganti nama menjadi Sultan Hasanuddin. Ia meneruskan perjuangan ayahnya melawan Kompeni.
Ketahuilah, kesultanan Gowa sekarang dipimpin oleh seorang sultan muda. Dia pasti belum berpengalaman dalam perang. Nah ini adalah kesempatan yang bagus untuk menaklukkan kesultanan Gowa, kata seorang komandan Kompeni kepada anak buahnya. Saat itu pula Kompeni telah menyiapkan pasukan dan armada dengan kekuatan besar. Sultan Hasanuddin tidak terpancing dengan tantangan Kompeni. “Persatuan harus kita utamakan,” kata Sultan Hasanuddin kepada rakyat Gowa. Kerajaan kecil seperti Bone, Wajo, Soppeng dan Botahin masuk ke wilayah Kesultanan Gowa.
Pada suatu hari sebuah kapal Belanda masuk ke dalam perairan Gowa. Kapal itu bernama De Walvisch. Kapal itu berisi persenjataan lengkap. “Serbu!” teriak pasukan Kesultanan Gowa yang segera menghadang kedatangan pasukan Kompeni. Maka terjadilah pertempuran seru. Kapten kapal De Walvisch terkejut melihat serangan tiba-tiba dari armada Gowa. Kapal De Walvisch berusaha menghindari serangan. Namun armada Gowa tidak mau memberi kesempatan kapal De Walvisch lolos. Akhirnya kapal De Walvisch tenggelam.
“Adu domba, taktik ini harus segera kita jalankan!” tandas seorang komandan Kompeni kepada anak buahnya. Ia lalu mendekati Aru Palaka, seorang putra bangsawan Bone. Aru Palaka pernah berselisih dengan Kesultanan Gowa. Itulah yang dimanfaatkan Kompeni. Tetapi Kesultanan Gowa tidak mundur sedikitpun untuk menghancurkan Kompeni. Justru persatuan dan kesatuan rakyat Gowa semakin kokoh. Menjelang akhir tahun 1666 armada Kompeni dengan komandannya Speelman sampai di dekat perairan Gowa. Kempeni segera menyatakan perang. Benteng-benteng Gowa digempur. Pasukan Gowa melawan dengan tembakan gencar. Melihat keadaan semakin terjepit, armada Speelman mundur untuk mencari strategi baru. Ia yakin pada kesempatan lain pasukan Gowa pasti dapat dihancurkan dalam sekejap.
Armada Speelman mencoba mengadakan penyerangan kembali terhadap pasukan Gowa. Pasukan dan rakyat Gowa mengadakan perlawanan dengan sekuat tenaga. Pasukan Speelman dan Pasukan Aru Palaka dihajar habis-habisan. Namun dari pertempuran itu, prajurit Gowa banyak yang gugur di medan laga. Satu demi satu bunga-bunga bangsa berguguran. Yang masih hidup pun keadaannya sangat menyedihkan. Mereka luka-luka dan tidak berdaya lagi.
Sekalipun satria-satria Gowa berperang dengan gagah berani, tetapi akhirnya mereka terjepit juga. Pasukan lawan jauh lebih besar dan persenjataannya jauh lebih lengkap. “Kita harus segera bertahan di benteng Makassar!” tandas Sultan Hasanuddin kepada sisa-sisa pasukan Gowa. Setelah mereka membangun pertahanan di benteng Makassar terjadilah pertempuran seru. Speelman melakukan siasat jahat. Dia memerintahkan tentaranya membakar lumbung-lumbung padi milik rakyat. Persediaan makanan rakyat Gowa semakin menipis dan rakyat Gowa pun menghadapi kelaparan.
Meskipun dalam keadaan sangat memprihatinkan, pasukan Gowa yang bertahan di benteng Makassar tidak mau menyerah begitu saja. “Bunuh Kompeni satu per satu,” itulah tekad mereka. Maka terjadilah pertempuran seru satu lawan satu. Satria-satria Gowa mengamuk dengan senjata api, lembing dan badik. Pasukan Kompeni yang berhasil lolos lalu bergabung dengan pasukan Aru Palaka. Pertempuran telah berjalan satu tahun. Sedikit demi sedikit wilayah Gowa dikuasai oleh Kompeni dan Aru Palaka.
Keadaan sudah tidak emnguntungkan Kesultanan Gowa. Sultan Hasanuddin menerima tawaran perundingan yang diajukan Belanda. Perundingan berlangsung di Bonggaya pada 1667. Isi perundingan memang menguntungkan Belanda. Sultan Hasanuddin menerimanya hanya sebagai siasat saja. Selanjutnya Sultan Hasanuddin menyerahkan mahkota kesultanan kepada puteranya, I Mapposomba Daeng Muraga. Saat itu I Mapposomba Daeng Muraga masih di bawah umur. Usianya baru 13 tahun. Perundingan tetap dilaksanakan. Tetapi Belanda hanya berhadapan dengan wali sultan mudanya. Sultan Muda ini kelak bernama Sultan Amir Hamzah. Belanda memang menang perang, tetapi mereka tidak berhasil menaklukkan Sultan Hasanuddin. Mereka tidak mampu membuat sultan yang berhati jantan itu bertekuk lutut.
Pada bulan Juni tahun 1670 Sultan Hasanuddin wafat. Dia meninggalkan nama besar. Dia dihormati oleh kawan maupun lawan. Masa pemerintahannya dia lalui dalam kobaran api perang melawah penjajah. Sekalipun musuh, Belanda menghargainya sebagai musuh yang hebat. Karena itu Belanjad menyebutnya “Ayam Jantan Dari Timur.” Sebagai anugerah atas jasa-jasa dan kepahlawanannya, pemerintah Republik Indonesia memberikan gelas Pahlawan Nasional kepada Sultan Hasanuddin. Gelar ini memang pantas diterima oleh Sultan Hasanuddin sebagai seorang patriot sejati.

Tidak ada komentar: