Senin, 13 Agustus 2012

Sebuah kilas balik pada ulang tahunku yang ke-55


Ayahku adalah bungsu dari dua bersaudara, laki-laki semua, asal dari Demak. Sedangkan ibuku adalah sulung dari dua bersaudara, perempuan semua, asli Jogja. Aku tidak tahu kisah perjodohan mereka, tapi pastinya ayahku merantau ke Jogja, bertemu ibuku, menikah, dan tinggal di Jogja, mungkin ayahku ikut tinggal di rumah mertua, di daerah pasar. Kakek dan kakek buyutku berjualan yang jaman dulu lazim disebut toko besi. Selain itu karena di jaman revolusi kemerdekaan, banyak londo-londo yang mau balik ke negeri asal mereka, toko kakek menerima banyak buku-buku bekas koleksi para londo itu. Inilah cikal bakal mengapa orang tuaku kemudian membuka usaha toko buku yang dimulai dengan menjual buku-buku bekas.



Tujuh tahun setelah pernikahan mereka lahirlah kakakku (laki-laki) pada tahun 1948. Tentu sebuah penantian yang lama. Sedangkan diriku lahir delapan tahun kemudian (1956). Adikku ada dua orang, perempuan semuanya, dan jarak lahirnya tidak terlalu jauh yaitu tahun 1958 dan 1962.


Toko orang tuaku ini bernama HIEN HOO SING, dulu beralamat di Gang Lor Pasar nomor 17. Pada tahun 1950an orang tuaku menyewa rumah di Malioboro 171. Ayahku bekerja sama dengan kakaknya yang tinggal di Semarang, mulai merintis menerbitkan buku-buku pelajaran. Yang paling terkenal adalah buku ULAR-ULAR BASA JAWI. Kemudian ada juga buku pelajaran ilmu bumi, ilmu hayat, pelajaran ekonomi dan sebagainya. Pesanan mengalir dari Sabang sampai Merauke. Sayang sekali semua arsip surat-surat pesanan (kartupos, warkatpos maupun weselpos) sudah habis dijual sebagai kertas bekas, padahal kalau sekarang masih ada tentu nilai filatelisnya cukup tinggi. (Saat ini kalau mau Google search, akan ditemukan banyak web atau blog yang menggunakan HIEN HOO SING.)

Kalau kuingat perjalanan toko buku, sungguh merupakan sebuah karunia Tuhan bagi keluarga orang tuaku. Toko itu tidak pernah sepi. Apalagi kalau pas tahun ajaran baru, ruangan toko penuh dengan pengunjung. Aku ingat masa kecilku ketika ingin main mobil-mobilan di trotoar, sungguh sangat sulit keluar dari dalam rumah ke depan karena ruangan toko penuh dengan pembeli.

Ayahku lulusan sekolah yang mungkin setara dengan STM. Beliau suka otak-atik mesin. Aku ingat dulu ada dua ruangan kamar yang penuh dengan perkakasnya. Ayahku pandai menaiki sepeda roda satu. Pernah beliau mengisi acara di SD ku waktu itu. Ibuku hanya sekolah sampai kelas 2 SR (Sekolah Rakyat = SD jaman sekarang). Tapi ibuku mempunyai tulisan yang sangat indah. Mungkin di jaman Belanda dulu keterampilan menulis menjadi prioritas nomor satu. Walau pendidikan formalnya rendah, tetapi ibuku pintar. Beliau pandai mengerjakan pembukuan toko dan juga ambil kursus bahasa asing.

Aku terlahir sebagai anak yang sering sakit. Sebetulnya tidak demikian, tetapi ketika aku berusia 2 tahunan, oleh ibuku dibawa ke dokter, mungkin untuk imunisasi atau apa. Karena di ruang tunggu banyak orang sakit, maka ibuku membawaku ke teras. Mungkin karena banyak angin maka diriku terserang bronchitis. Kalau sedang kumat betapa sengsaranya, aku harus menungging untuk mengurangi sesak napasku. Konon di usia TK aku hanya masuk satu hari saja, selebihnya lebih banyak tergolek di ranjang. Usia SD aku lebih banyak bermain dengan kedua adikku dan teman-teman perempuan mereka. Akibatnya aku ya ikut main masak-masakan, anak-anakan, bal bekel dll. Tapi ketika aku kelas 4, aku bermain dengan anaknya bu lik ku di bawah atap dan terjatuh dari ketinggian 4 meter. Aku sempat pingsan 3 hari. Selama aku tinggal di rumah sakit, ibuku dengan rajin membuat buku harian mengenai perkembanganku.

Karena status rumah adalah menyewa, maka orang tuaku punya gagasan untuk membeli rumah. Mereka membeli rumah di Malioboro 119 dan 121. Dua persil rumah ini dibeli dalam keadaan masih ditempati orang. Dan kedua keluarga itu tidak mau pindah. Akhirnya mereka setiap bulan mengirim wesel seolah-olah membayar sewa kepada orang tuaku, tapi oleh ayahku wesel itu selalu dikembalikan dengan alasan rumah akan ditempati sendiri.

Hal itu berlangsung hampir 20 tahun. Puncaknya terjadi pada tahun 1974, ketika ayahku memaksa (dengan bantuan tentara) untuk mengosongkan kedua rumah itu. Pada saat itu ayahku justru terkena serangan jantung dan meninggal tak lama kemudian. Usia ayahku waktu itu 55 tahun. Adik ipar ibuku mengatakan bahwa ayahku meninggal karena diguna-guna oleh pemilik rumah yang digusur itu. Ayahku tidak pernah menikmati tinggal di rumah yang dibelinya itu. (Saat tulisan ini kubuat, usiaku pas 55 tahun. Aku memang masih sering masuk angin, sering kerokan, dan sering merasa kedinginan, tapi frekuensinya sudah jarang. Mungkin DNA ku kurang baik karena sejak kecil sakit-sakitan dan tubuhku penuh diisi obat-obat dokter. Aku berharap Salmon Omega 3 dan Double X bisa membuatku hidup lebih sehat dan lebih lama.)

Tahun 1974 itu kami pindah ke rumah baru yang kondisinya masih acak-acakan. Karena kondisi rumah yang tidak nyaman itu aku sempat tidak lulus ujian SMA. Usaha toko tetap berjalan dengan baik. Penerbitan buku dilanjutkan oleh kakakku. Kakakku menikah pada tahun 1970 dan tinggal bersama-sama kami karena rumah ini sangat luas (sekitar 800 meter persegi).

Beberapa saat setelah pecah pemberontakan G30S/PKI sempat ada demo anti Cina yang memaksa toko-toko untuk menurunkan papan nama mereka. Termasuk toko orang tuaku itu. Untuk beberapa tahun kami berjualan tanpa papan nama, tetapi semua pelanggan sudah mengenal kami. Setelah pindah ke rumah baru, atas gagasan dari ibu dan kakakku, nama toko diubah menjadi SARI ILMU.

Tahun 1976 aku mulai kuliah di satu-satunya perguruan tinggi yang aku pilih, yaitu IKIP Sanata Dharma. Cita-citaku ingin menjadi guru, tidak mau jadi pedagang. Usaha toko dikelola oleh ibuku. Kakakku mengurus penerbitan yang semakin lama semakin merosot karena mulai munculnya penerbit-penerbit baru yang bekerja sama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sementara itu naskah lama kami tidak pernah diubah. Ya kami ini seperti penerbit Balai Pustaka yang buku pelajarannya dipakai di seluruh nusantara (pada waktunya) dan pada saat tertentu tergusur.

Aku kuliah 3 tahun. Kemudian karena keterbatasan tempat, untuk sementara aku tidak diterima di tingkat doctoral (maksudnya kurang pintar gitu lho). Pada waktu itu juga ada pergeseran tahun pengajaran selama setengah tahun. Aku mencoba melamar di SMP Pius, Tegal, dan diterima. Tapi hanya setengah tahun saja, karena kemudian aku diperbolehkan mengikuti kuliah selanjutnya.

Setelah tamat kuliah, belum sempat mencari pekerjaan, aku justru “dilamar” oleh mantan kepala sekolahku (SMA De Britto) untuk menjadi guru di SMA Santa Maria, Bandung. Betapa senangnya diriku walau penuh ketakutan karena aku tahu Bandung itu dingin. Dan pada waktu itu Gunung Galunggung baru saja meletus. Malam hari naik kereta api, paginya sampai di Bandung. Di kantor yayasan aku diberitahu bahwa aku akan mengajar SMA Santa Maria siang. Lucunya pada saat itu datanglah kepala SMA Trinitas yang memintaku mengajar di sekolahnya juga. Jadilah aku sekaligus mengajar di dua sekolah, pagi di Trinitas dan siang di Santa Maria. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan yang memberi kemudahan bagiku.

Memasuki tahun kedua, aku juga diminta mengajar di SMA Kristen Immanuel di Cimahi. Selain itu SMA Santa Maria juga membuka cabang di tempat lain. Jadilah aku mengajar di empat sekolah. Capek deh.

Ibuku punya kenalan seorang suster (biarawati) dari Ende (Flores). Suster ini bilang pada ibuku bahwa ada sekolah di Ende yang mencari guru. Akhirnya aku tinggalkan Bandung yang dingin dan mulailah pengalaman baru di Ende yang panas, gersang dan penuh kesederhanaan. Sekali lagi aku bersyukur karena aku tidak melamar melainkan dilamar. Aku mengajar di SMA Syuradikara. Sempat mengunjungi Danau Kelimutu dan Pulau Komodo, tapi sayang belum sempat melihat Flores Timur.

Hanya dua tahun aku mengabdikan diriku di Flores. Kemudian aku pulang dan menikah tahun 1986. Dan mulailah “kisah sengsaraku” yaitu harus ikut membantu jaga toko. Aku sebut kisah sengsara karena dari keempat anak, hanya aku yang membantu mengurus toko. Kakakku tidak mau mengurus toko dengan alasan tidak berbakat. Dia lebih senang mengurus percetakan. Pada saat itu usaha penerbitan kami sudah dihentikan dan kakak hanya menerima orderan cetak dari orang lain. Sayang seribu kali sayang ternyata kami tidak mempunyai arsip buku-buku yang pernah diterbitkan oleh orang tua kami.

Adikku yang besar sudah menikah lebih dulu dari aku, dan dia buka usaha sendiri, toko buku juga, di Malioboro 171. Adikku yang kecil masih kuliah dan kalau tidak salah sedang tugas mengajar pengungsi Vietnam di Pulau Galang.

Aku menikah bulan November 1986. Anak pertamaku (laki-laki) lahir bulan November 1989, dan anak kedua (perempuan) lahir bulan November 1991. Betapa sebuah kebetulan. Sekali lagi aku bersyukur pada Tuhan. Jadi kalau kami mau merayakan ketiganya bisa bersamaan, apalagi tanggal-tanggalnya juga berdekatan.


Pada saat itu kakakku sudah punya 4 orang anak, 2 laki-laki dan 2 perempuan. Dan kami tinggal di satu rumah besar. Kakak dan keluarganya tinggal di lantai atas, sedangkan aku tinggal di bawah, belakang. Ibuku tinggal sendirian di tengah.

Pada tahun 1996 ibuku meninggal (usia 72 tahun). Betapa kami semua merasa kehilangan beliau karena selama ini beliaulah tulang punggung toko. Selama ini aku kurang dididik untuk urusan kantor dan lebih banyak sebagai pengawas di toko.

Sesuai dengan surat wasiat, pada tahun 1997 rumah besar ini dibagi dua dengan sebuah tembok dari depan sampai belakang. Nomor rumah yang semula 119-121 mengalami perubahan menjadi 117-119. Kakakku memilih yang sebelah utara (119). Bagian ini masih kosong, jadi dia dapat membangun sesuai keinginannya. Sedangkan bagian selatan (117) sudah ada bangunan lama (kamar-kamar) dan sumur. Aku sebagai yang lebih muda menerima saja, apalagi aku belum cukup kaya. Selama 10 tahun  aku hanya hidup dari gaji yang diberikan oleh ibuku, sedangkan sementara itu usaha percetakan telah dihibahkan kepada kakakku.

Barang dagangan toko yang harus dibagi dua menjadikan kami sebagai saingan yang tinggal bersebelahan. Kakakku sempat lebih unggul karena dia rajin  mendatangi sekolah-sekolah, sementara aku hanya menunggu datangnya pembeli. Namun rejekiku tetap mengalir. Akhir tahun 2000 untuk pertama kalinya kami sekeluarga sempat ikut tur Bangkok-Beijing. Dan sejak itu aku belum pernah ikut tur lagi.

Pasang surut kehidupan berumah tangga maupun bisnis sudah kami rasakan. Aku merasa tidak salah pilih isteri. Aku jatuh cinta padanya pada pandangan pertama ketika aku mengajar di SMA Santa Maria, soalnya dia duduk di bangku paling depan. Dan isteriku yang cerdas ini pandai melihat peluang bisnis. Ketika itu dia mencoba berjualan teh yang dimasak sendiri. Hasilnya lumayan, bisa untuk menyekolahkan anak. Kemudian dia juga bergabung dengan Rotary International Club. Ini bisa membawa kedua anak kami mengikuti program pertukaran pelajar ke luar negeri. Belakangan ini bagian depan toko buku kami sudah disulap untuk berjualan kaos oblong dan baju batik, karena ternyata souvenir-souvenir seperti itu justru lebih banyak diminati oleh para pelancong.

Aku berharap diriku dikaruniai tubuh yang sehat dan usia yang panjang sehingga masih dapat menyaksikan anak-anakku tumbuh. Dan yang penting nantinya aku bisa membantu banyak orang meraih kehidupan yang lebih baik. Proyekku ada di www.91aja.com. Impianku untuk masa depan adalah penduduk Indonesia tidak malas, punya disiplin (terutama dalam membuang sampah), dan tidak korupsi lagi karena sudah makmur.

(ditulis di http://yohanesss.multiply.com bulan Maret 2011)

Tidak ada komentar: